Tuesday, May 17, 2011

Pride and Prejudice (part 2): The Accomplished women (Istri Idaman)

Selagi meneliti novel spektakuler ini (paling tidak bagiku), aku menemui banyak sekali social cases yang menarik untuk dibahas dan diperhatikan. Nah karena aku belum sampai di bab 4 untuk skripsiku, sekilas akan kubahas pandanganku disini. 

Selain kisah cinta yang romantis di antara Elizabeth Bennet dan Mr. Darcy, satu hal yang membuatku tertarik (dan berpikir) adalah kehidupan para wanita di abad itu. Semakin aku menganalisis isi dari novel itu tentang bagaimana wanita waktu itu (diperkirakan sekitar abad ke 18, nama eranya dikenal dengan REGENCY ERA – waktu Pangeran Regent memerintah di Inggris (Inggris! Bukan Salatiga!) hidup dan diperlakukan, rasanya semakin tertarik. Terutama tentang the accomplished women. Wanita-wanita harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk bisa dikatakan “layak” dipersunting sebagai istri. Dan pada jaman itu, wanita tidak punya pilihan pekerjaan dan pendidikan yang layak, sehingga satu-satunya cara untuk mendapat uang (security finance: aman dalam hal keuangan, ada yang nanggung biaya hidupnya) cuma kalau mereka menikah. Tidak heran kalau bangsawan atau saudagar lajang yang incomenya besar jadi rebutan.  

Nah kalau mau mendapat seorang pria kaya yang punya gelar dan berpenghasilan lebih dari cukup, para wanita harus berlomba untuk menjadikan diri mereka seseorang yang pantas direbutkan  hatinya.  Masalahnya, “syarat kelayakan” itu menurutku little bit riddicolous (terutama untuk wanita jaman sekarang sih). Syarat tersebut di antara lain : harus bisa menyanyi, bermain piano, bernyanyi, menyulam (menjahit, bordir dan segala macamnya pekerjaan tangan), melukis, berdandan, merias diri, sikap dan perilaku yang gracefully (bahkan cewek yang namanya GRACE jaman sekarang aja belum tentu lemah lembut! – no offense, cuma pengandaian) 

Hmmm, kalau kamu hidup di jaman Jane Austen (pengarang novel Pride and Prejudice) kira-kira kamu masuk standart kelayakan wanita nggak?? 
lady Catherine De Bourgh




“Do you play and sing Miss Bennet?”
“A little”
“Oh then sometime or other we shall be happy to hear you. Our
piano is a very good one-probably much better than do your sisters
play and sing?”
“One of them does”
“Why did you all learn? You ought to all to have learned. Do you
draw?”
“Not, not at all”
“What, none of you?”
“Not One”
“That is very strange, but I suppose you had no opportunity. Are
any of you out of society? Miss Bennet?”
“Yes, all of them”
(Page 47)

Lady Catherine De Bourgh mulai menginterview Elizabeth waktu Elizabeth mampir ke estate-nya. Si Lady ini adalah tokoh antagonis di novel ini. Antagonis yang normal untuk seorang wanita kelas bangsawan yang nggak mau melihat keponakannya menikah dengan wanita dari kalangan menengah. Hello! Jangankan jaman dulu yang sistem kelasnya masih alot dan konservatif, jaman sekarang yang sudah lebih maju dalam pemikiran aja masih ada aja model begituan. Harta jadi pembanding dan alat penentu kelayakan seseorang menjadi “menantu” sebut saja artis indonesia yang lagi gencar-gencarnya diberitakan. No offense (again) emang bibit, bebet dan bobot dipertimbangkan tapi bukan sebagai patokan mutlak kalau menurutku.

Menurut Lady De Bourgh, seorang wanita yang berkelas dan berpendidikan adalah seseorang dengan kepandaian bermain musik dan bernyanyi, lainnya harus bisa menggambar dan menjahit. Nah kalau nggak bisa itu semua, bisa dikatakan wanita itu nggak layak mendapatkan pria terbaik. Wow, wanita jaman itu sepertinya harus menjadi seorang “idol” dulu baru bisa menikahi pria berkelas dan berduit. Segala kriterianya mengingatkan kita pada ajang pemilihan bakat kan? Padahal si Elizabeth ini sukanya membaca buku dan dia nggak kalah pintar, bahkan paling cerdas di antara saudari-saudarinya. Tokoh Elizabeth Bennet sendiri dinilai adalah sebuah penggambaran dari pribadi Jane Austen, penulisnya. Sebagai sesama penulis, memang sih lebih banyak dari tokoh cerita yang dibuat begitu menyerupai karakter kita. Beberapa novelis mungkin akan memilih karakter yang sama sekali bertolak belakang dengan dirinya tapi style penulisan yang dipakai tetap menggambarkan si penulis sendiri. Believe me pals, style never lies!




Lets take these accomplishments into our era...


Masuk ke era kita yang katanya suka modern, memang, wanita tetap adalah wanita. Meskipun berprofesi sebagai sopir bajaj pun tetap seorang wanita yang harus memiliki “standart kelayakan”. Kalau di eranya Jane Austen harus bisa main musik bla-bla-bla, kalau di era kita harus bisa 3M: Masak, Macak, Manak! (memasak, berdandan dan beranak... ehm,,, melahirkan anak, maksudku!) paling tidak itulah yang terus didengungkan Mama dan Emak kepadaku untuk membangun sebuah pondasi kewanitaan yang sejati di dalamku (halah, apa sih ni kata-katanya!) 

Dan tentu saja, apakah tanpa ketiga hal itu (3M yang kutahu) kita tidak bisa dibilang wanita yang “layak dinikahi”?? 

Bahkan kalau kita tidak atau belum menikah, apakah itu juga membuat kita menjadi wanita yang “tidak utuh”? 

Apakah kalau kita tidak bisa merias diri atau malah suka bergaya tomboy, apakah kita tidak dikatakan wanita “sejati”??

Tanyakan pada diri kita, apa itu wanita utuh? Wanita sejati atau wanita yang layak dinikahi? Benarkan kehidupan seorang wanita baru dimulai ketika menikah? Lalu sebelum menikah, apakah seorang wanita (cewek, gadis, perawan) tidak dikatakan “hidup”??

lady in waiting-cover
Ada satu buku yang sangat bagus membahas pertanyaan-pertanyaan di atas dipandang dari sudut Christianity. Judulnya LADY IN WAITING. Di buku ini mengungkapkan betapa kita itu berharga sekali lebih dari semua syarat kelayakan sebagai wanita atau kesejatian sebagai wanita. Dan pandangan bahwa wanita hanya berharga jika sudah menikah itu DITOLAK MENTAH-MENTAH (aku percaya pandangan ini juga berasal mulai dari jamannya Jane Austen yang menilai gadis di atas umur 25 tahun yang belum menikah dikatakan “old-maid” perawan tua, dinilai lebih rendah karena tidak memiliki “financial security” yang pasti).

Benar, wanita berhakekat menjadi seorang wanita dalam artian kita tunduk pada suami, mengatur rumah tangga, menolong suami dalam segala keperluan rumah tangga, melahirkan keturunan dan mendidik anak-anak, tetapi sebelum itu semua terjadi dalam hidup kita, sebenarnya apa yang kita lakukan? Sibuk mencari jodoh? Sampai-sampai bisa membuat daftar dan memilah-milah teman cowok kita siapa saja yang pantas dijadikan calon suami dan siapa yang tidak pantas, sehingga tidak ada lagi yang namanya “pure friendship” (itu aku secara pribadi sangat tidak suka! Aku lebih suka menyukai seseorang dengan natural, dimulai dari sebuah “persahabatan murni” sehingga apapun yang terjadi nantinya, kita tidak tahu, tapi motivasiku benar-benar untuk berteman) 

Banyak dari kita menghabiskan waktu berharga ketika kita remaja sampai menjelang usia matang untuk menikah, membuang-buang waktu mengkhayalkan seorang pangeran datang padanya dengan Mobil Jaguar dan mengajaknya menikah, tapi kemudian menangis berbulan-bulan karena ternyata pria itu Pangeran palsu! (Aku termasuk salah satu gadis itu, tapi aku rasa aku tidak berpandangan sesempit itu saat ini) 

Hidup kita tidak dimulai ketika kita sesudah menikah saja! Hidup kita dimulai ketika kita mengerti tujuan hidup kita yang sebenarnya! (dan jangan bilang kalau tujuanmu adalah menikah dan punya anak!) 

Cobalah saat ini, selagi kau menunggu jodoh yang dikirim Tuhan padamu (yakinlah TUHAN mendengar semua seru doamu dan nyanyian munajat cintamu tiap malam “Tuhan kirimkanlah aku kekasih yang baik hati... yang mencintai aku, apa adanya.”..::jreng-jreng, gitaran::) kau serius dengan hidupmu. Kalau kau sedang mengejar karier, lakukan itu dengan sungguh-sungguh dengan motivasi bahwa apapun yang kita lakukan nantinya pasti berguna bagi kita dan menyenangkan TUHAN (jadi jangan bermotivasi hanya untuk “mengisi waktu” menunggu jodoh, emangnya lagi ngantri di dokter, lu bisa maen2 games sampai hp lowbet??!!). 

Are You ready??
Lalu sebelum “Pangeran” kita datang, yakinkan dirimu bahwa kamu adalah seseorang yang “pantas” bersanding dengan pangeran itu karena hatimu. Aku tidak bilang, kamu harus bisa menari, main musik, masak, momong anak dsb. Itu skill yang bisa dipelajari sebelum atau sesudah kita menikah (aku termasuk malas belajar masak, sekalipun kalau aku mau gitu, pasti bisa juga, karena Mama dan Emakku jago masak) tapi yang terpenting adalah kesiapan jiwa dan rohanimu untuk hidup bersama. 

My previous relationship mengajariku hal ini juga. Aku tidak tahu whether dia itu pangeran atau bukan (yang pasti dalam arti yang sebenarnya, di bukan “PANGERAN”) tapi yang pasti waktu menjalin hubungan dengan dia, aku tahu aku belum siap. Ketidaksiapan seseorang bisa jadi karena sisa masa lalunya (ingat ladies! Sebelum menjalin hubungan yang baru dengan orang yang baru, pastikan yang lama sudah benar-benar berlalu! Jadi tidak meracuni kita dengan hubungan yang baru ini. Jadi hentikan pandangan bahwa cara yang terbaik untuk melupakan mantan adalah cari yang baru! Kalau aku sih nggak setuju, disamping tambah cari penyakit, aku tahu KEBENARANNYA). 

Contoh yang paling konkret di pengalamanku. Aku pernah mengenal seorang lelaki yang sangat playboy dan kata-katanya tidak bisa dipercaya. Berhubungan dengan dia membuat aku sangat sakit hati (sampai turun 20kg – ini rahasianya! Puas? Jangan tanya lagi!). Setengah jalan menuju penuntasan masalahku dengan dia, aku bertemu dengan mr.X (baca: memoir...). Sebenarnya tidak ada yang salah dengan dia (Mr.X), tapi mungkin aku masih “keracunan” akan pemikiran bahwa cowok itu dimana-mana playboy dan tidak bisa dipercaya, suka gombal dan suka selingkuh. Sampai akhirnya dengan mudah, pertama kali aku curiga pada si X ketika seorang temen ceweknya (mr. X lebih banyak punya temen cewek daripada cowok, which is make me Gerah!!) berkata “hati-hati lho me... dia itu nakal waktu di kuliah, temen ceweknya banyak.” Dan salahnya aku, aku tidak (belum) mengenal X dengan sepenuhnya sebelum aku menerimanya jadi bf sehingga dengan mudah aku terkecoh. Ditambah lagi si X sering juga keluar kota dan faktor X lainnya yang suka manas-manasin, wah wah wah beginilah akhirnya. Padahal akhirnya aku tahu dia orangnya setia. Tapi semua sudah terlambat karena aku sudah bikin dia gerah dengan ocehanku dan cemburuku. Hahaha... silly? Yes it was! Tapi aku menarik pelajaran yang sangat berharga. “mungkin benar, A prince shouldnt have to marry a Princess, he could marry a Pauper (fisikly) because he cant deny his fate” tapi seorang “pangeran” tetap mencari “hati seorang putri” ,”sikap dan keanggunan seorang putri”, “jiwa dan kerohanian seorang putri” bahkan dalam sosok seorang Pauper itu sendiri.

Selanjutnya, (Buat anak-anak Tuhan terutama) Wajib baca buku LADY IN WAITING kalau ingin “selamat” dalam masa penantian. Highly recommended! Sehingga kita tahu dan sadar, meskipun kita ini kadang tomboy atau girly, menikah ataupun belum, single atau double, lembut atau kasar, semuanya tetap wanita! Kita tidak bisa berkata bahwa yang tidak pakai rok itu bukan wanita sejati, tapi kalau yang pakai rok itu wanita sejati, atau berkata kalau yang nggak bisa dandan itu bukan wanita sejati atau yang tidak bisa punya anak itu bukan wanita utuh. Ingat! Kita wanita sejati atau utuh jika kita berlaku, berpikir, berbuat, mempunyai hati seperti yang Tuhan mau kita lakukan dalam hidup kita (Lady in Waiting, page hmmm, aku belum buka lagi, nti deh aku liat lagi ya halamannya hehe!) contoh realnya: jika Tuhan menyuruh kita tidak menaruh dendam atau disuruh mengampuni orang yang bersalah pada kita, ya kita lakukan. Dan itulah yang Tuhan mau dalam hidup kita, sehingga bergaya apapun kita, bermodel apapun kita, bagaimanapun status kita, kita adalah wanita sejati! Wanita yang memenuhi syarat naik buat para Pangeran yang menantikan kita dan bagi TUHAN!!

I will trust while I wait

Cause my God is never late!

-Lady in Waiting-
“Mungkin benar, A prince shouldnt have to marry a Princess, he could marry a Pauper (fisically) because he cant deny his fate” tapi seorang “pangeran” tetap mencari “hati seorang putri” ,”sikap dan keanggunan seorang putri”, “jiwa dan kerohanian seorang putri” bahkan dalam sosok seorang Pauper itu sendiri.” – Lee Naomi –

No comments:

Partners