Tuesday, January 3, 2012

ShortStory † :: Es Cendol::part1


Hari telah menjelang sore ketika Sanny melihat kakaknya, Debora dan Michael baru datang dan masuk ke rumah. Tanpa mempertanyakan darimana mereka pergi, Sanny sudah tahu pasti darimana keduanya itu. Tapi hari ini mereka tampak lain. Wajah sumringah mereka kini menjadi masam sekali. Entah apa gerangan yang terjadi. Sanny cuek aja, daripada kena semprot sembari terus mengerjakan tugas sekolahnya di ruang tamu.
Debora menghempaskan diri ke sofa di sebelah Sanny. Kecapekan dan kejengkelan tergambar jelas di wajahnya. Bibirnya mengerucut dan menggumam tidak jelas, sementara alisnya berkerut-kerut. Sanny cuma sempat menghentikan penanya sebentar untuk melirik ke arah kakak pertamanya itu, tapi tidak mau berkomentar. Sedetik kemudian disusul Michael yang duduk berhadapan dengan Sanny dan Debora. Michael meneguk air minum yang dibawanya dengan cepat. Wajah tidak puas menghiasi mimik wajah kakak laki-laki Sanny itu.
Secuek-cueknya Sanny, penasaran jugalah akhirnya si bungsu ini. Dia meletakkan pena di tangannya itu dan bertanya dengan nada heran.
“Kalian ini kenapa sih? Kok pulang-pulang wajahnya cemberut semua?”
Dan tiba-tiba serempak mereka menjawab, “Itu lho orang itu menyebelin banget!!”
“Hah?” Sanny melongo. “Siapa?”
“Orang yang kami jenguk di Rumah Sakit itu. Anak seumuran kamu yang kena penyakit kanker. Kita kan udah jengukin nih, terus kita kuatin, nasihatin, biar dia kembali ke Tuhan lagi, tapi dia malah marah-marah,” cerita Debora.
“Iya, malahan dia bilang. Kamu kan nggak ikut ngerasain apa yang aku alami, makanya gampang kamu ngomong ‘percaya Tuhan itu baik, beriman, kuatkan hati’. Idihhh, nggak tahu diri banget lagi. Udah susah-susah kita jengukin dia, kok malah dia marah-marah.” Michael ikutan ngedumel. “Tau gitu, nggak usah pake besuk deh. Kita ikutan doa peperangan aja.”
Sanny cuma tercenung mendengar kedua kakaknya itu curhat habis-habisan tentang ‘pasien’ yang mereka tengah tangani itu.  Kedua kakaknya itu memang tergabung dalam tim besuk yang tiap minggu keluar masuk rumah sakit untuk mendoakan orang-orang. Tapi lucu juga sih kalau malah ada yang marah-marah gini. Hmmm. Tanpa melanjutkan argumen, Sanny memilih masuk ke kamarnya.
Di kamar, tiba-tiba keinginan Sanny untuk berdoa begitu kuat. Dan akhirnya dia bertelut di lantai dekat tempat tidurnya, sementara dia berdoa dalam bahasa roh, hadirat Tuhan semakin kuat.
Tak lama, Bapa datang kepada Sanny dengan pancaran kasihNya memenuhi seluruh ruang kamar itu.
“Nak... AKU sudah datang. Aku sudah dengar juga pertanyaan-pertanyaan dari hatimu itu.”
Sanny tersenyum, “Iya Bapa, Engkau kan maha Tahu.”
“Nak, tahu kenapa anak itu marah-marah kepada kedua kakakmu?” tanya Bapa dengan lembut. Sanny menggeleng.
“Karena mereka sudah menghakimi dia. Mereka tidak menanyakan padaKU dulu sebelum mereka mulai untuk membesuk. Padahal AKU punya cara-cara yang mereka butuhkan. Kalau mereka sembarangan ngomong dan tidak minta pimpinan RohKU mereka pasti akan ditolak banyak orang.”
Sanny manggut-manggut mendengar penjelasan Bapa.
“Nah, sekarang. Maukah kamu yang pergi menggantikan kedua kakakmu pergi menjenguk anak itu?” tanya Bapa dengan lembut.
Sanny berpikir sejenak.
Bapa mengerti apa pikiran Sanny sehingga Bapa tersenyum kecil, “Nak, jangan kuatir. Aku sendiri yang membimbingmu. Asal kamu mau, percaya dan nurut aja, ya?”
Sanny tersenyum kembali. “Iya Bapa. Kalau begitu aku mau.”
Bapa kembali dengan senyum setelah mendengar jawaban Sanny. Sanny mengakhiri doanya dan bergegas tidur.
Keesokan hari sepulang sekolah, matahari bersinar begitu terik. Sebenarnya Sanny sudah ingin kembali ke rumah cepat-cepat tapi langkahnya seolah tercegat. Suara Bapa di hatinya begitu kuat untuk menyuruhnya ke rumah sakit. Sanny menurut dan membelokkan jalannya menuju rumah sakit yang tidak jauh dari sekolahnya.
“Tunggu Nak,” tiba-tiba suara Bapa menyergap Sanny. Sanny langsung menghentikan langkahnya.
“Kamu bawakan anak itu ini ya...” suara Bapa menggema kembali. Sanny memandang heran dengan apa yang ditunjukkan Bapa. Gerobak Es Cendol. Disuruh belikan Es Cendol?!
“Wahh, es cendol ya Bapa? Kok aneh?” tanya Sanny dengan lugu.
“Udah Nak, bagianmu nurut aja ya.” Sahut Bapa.
Akhirnya Sanny nggak membantah lagi dan membeli dua bungkus es cendol. Hari sepanasa ini memang paling maknyus kalau minum es cendol. Tapi entahlah, mana boleh seorang pasien rumah sakit minum es cendol. Tapi Sanny tetap mau nurut Bapa. Jadi es cendol itu dimasukkan ke dalam kanotng kresek hitam sehingga tidak keliatan isinya dari luar. Lalu masuklah Sanny ke dalam rumah sakit dan bertanya pada bagian informasi untuk mengetahui kamar pasien bernama Sasha.
Sanny bergegas menuju ke kamar Sasha, seorang gadis seumurannya yang sakit kanker darah sehingga harus dikemoterapi dan rawat inap berbulan-bulan. Sebenarnya Sasha sudah memperingatkan kepada keluarganya kalau-kalau kedua orang yang membesuknya kemarin –Michael dan Debora- datang lagi, jangan diterima. Tapi melihat Sanny dengan seragam biru putihnya yang datang, keluarga Sasha tidak keberatan menyuruh Sanny masuk karena mereka pikir Sanny adalah teman sekolahnya Sasha.
Ketika Sanny masuk ke ruang kamar Sasha, Sasha yang keliatan begitu boring dengan televisi di depannya, sedikit terkejut dan mengernyitkan kening. Tapi Sanny tersenyum tulus ke arah Sasha.
“Hai Sasha...” sapa Sanny.
“Kamu siapa? Kok bisa masuk? Nggak dimarahi Mama?” tanya Sasha dengan galak.
Sanny tetap tersenyum, “kenalkan aku Sanny.”
Sanny mengulurkan tangan, namun Sasha keliatan jengah untuk sekedar membalas jawaban tangannya. Sehingga dibiarkannya tangan Sanny menggantung di udara sampai Sanny sadar bahwa kehadirannya tidak diharapkan disini.
“okelah, aku sampaikan saja yang Bapa mau. Terus pulang” pikir Sanny.  
“Sa... aku kesini disuruh Bapa. Dan aku bawa ini untuk kamu.” Sanny mengangsurkan bungkusan es cendol itu ke tangan Sasha. Mau tidak mau Sasha menerimanya.
“Dan aku pamit pulang ya. Aku nggak mau mengganggu istirahatmu,” ujar Sanny sambil tersenyum kecil.
Sanny sudah berbalik badan dan berjalan ke arah pintu, ketika tiba-tiba Sasha berteriak, “Heh... kamu! Tunggu sebentar!”
Sanny balik badan melihat Sasha takjub memegang sebungkus es cendol di tangannya. Dan tiba-tiba tawa Sasha pecah. “hahahahahahaaaahahahaha... kok kamu bisa tahu... hahahaha, aku paling suka es cendol... hahaha... aduh, perutku bisa sakit ini kalau ketawa terus... hihihihi...”
Sanny sebenarnya agak terkejut dengan sikap Sasha berubah mendadak. Tapi Sanny cepat-cepat menghampiri Sasha yang sudah nampak kegelian memandangi es cendol hijau di tangannya itu.
“Mau dengar ceritaku nggak? Kenapa aku bisa gemes banget sama es cendol ini?” tanya Sasha dengan semangat. Beda banget dengan sikapnya tadi yang arogan banget. Sanny buru-buru mengangguk.
“Dulu waktu aku masih sekolah, kelas satu SMP, kira-kira sama lah kayak kamu sekarang ini. Aku dan teman-temanku pernah ngerjai seorang teman kami yang bandel. Dia ini cowok tapi bandelnya minta ampun, dan lucunya dia ni takut ulat. Nah kita yang cewek-cewek, korban kejailannya, mau mengerjai dia balik. Akhirnya kita pura-pura membuat surprise ulang tahun ke dia, pake acara tutup mata gitu. Terus kita guyur dia rame-rame pake es cendol seember. Nah, cendol kan bentuknya kayak ulat gitu, kenyal-kenyal dan panjang-panjang. Eh dia kegelian, ketakutan sampai ngompol di celana lho... hahahahahhahaaa...”
Tiba-tiba Sasha tidak seperti Sasha tadi yang galak. Sanny begitu senang melihat perubahan drastis Sanny. Sambil terus mengucapkan syukur kepada Bapa, Sanny dengan setia mendengarkan setiap cerita dari Sasha. Ternyata Sasha ini adalah seorang yang periang, sebelum akhirnya dia sakit dan menjadi marah sama Bapa.
“Aku punya banyak cerita tentang es cendol ini lho. Sebenarnya cuma teman-teman sekolahku yang tahu aku suka banget dengan cendol.”
“Teman-teman sekolahmu masih sering ke sini kah?” tanya Sanny. Sasha menggeleng.
“Mereka cuma besuk ke sini pada bulan-bulan pertama aku sakit. Tapi kemudian mereka nggak mau peduli lagi sama aku. Mereka sibuk sendiri-sendiri.” Muka Sasha kembali muram.
Sanny menepuk pundak teman barunya itu, “kalau begitu biar aku yang jadi temanmu mulai saat ini ya?”
Melihat senyum ketulusan Sanny, Sasha mau tak mau mempercayai perkataan Sanny. “Namamu Sanny kan?”
Sanny mengangguk.
“Kok kamu bisa tahu sih es cendol itu? Emang ada yang bilang ke kamu?” tanya Sasha dengan heran.
“Aku dikasih tahu Bapa,” jawab Sanny mantap.
“Bapa? Siapa?”
“Bapa ... Tuhan kita. Yesus Kristus.”
Tiba-tiba muka Sasha muram kembali. “DIA yang mengambil Papaku, orang yang paling aku sayangi. Lalu memberi aku penyakit ini. Trus DIA juga yang mengirim pembesuk-pembesuk konyol yang sukanya mengkhotbahi orang aja. Kalau mereka di tempatku, mereka belum tentu bisa begitu semangat. DIA nggak sayang sama aku. Padahal dulu aku rajin melayani, rajin berdoa dan beribadah ke gereja. Tapi toh keluargaku sekarang berantakan, hidupku berantakkan, aku kehilangan segalanya.”
Sanny tidak mau segera menjawab. Dia membiarkan Sasha mengungkapkan isi hatinya. Sementara dalam hati, Sanny bertanya kepada Bapa. “Bapa, aku harus bilang apa?”
Katakan AKU mengasihinya. Itu saja.”
Sanny sebenarnya bingung. Segitu banyaknya, tapi Bapa juga ngomong satu kalimat singkat.
Nak, terkadang seseorang tidak perlu khotbah kita yang panjang. Dia cuma butuh satu kalimat yang diucapkan dengan tulus.”
Sanny manggut-manggut. “oh begitu ya Bapa. Aku tahu sekarang.”
Sasha masih terus mengeluh, dan mimik mukanya mengeras. Setiap centi wajahnya yang kurus itu menunjukkan kemarahan. Air mata menggenang di sudut matanya. Airmata kepaitan yang amat sangat. Sekelebat, Sanny melihat Bapa menangis melihat kemarahan di wajah anak kesayanganNYA yang ditujukan pada DIRINYA. Melihat Bapa bersedih, Sanny tidak kuasa menahan airmatanya menetes.
Di tengah-tengah deraian airmata itu, Sanny menggenggam tangan Sasha dengan erat, memeluk pundak Sasha dan berkata dalam-dalam, “Tuhan Yesus mengasihimu. Percaya atau tidak, tapi aku kini melihat DIA menangis melihat anak yang dikasihiNYA menolakNYA.”
Sanny melepas pelukan di pundak Sasha beberapa detik kemudian, dan dengan sopan, dia memohon diri. Wajah Sasha masih tegang, ketika dia mengangguk menjawab pamitan Sanny.
Sanny berjalan pulang dengan gontai ketika di tengah jalan Bapa menyapanya, “Bagus nak!”
Bagus apanya Bapa? Dia toh tidak bertobat.”
“Yang menobatkan orang itu urusanKU. Bagianmu sudah selesai, Nak.”
Mendengar hal itu, legalah hati Sanny. “Terima kasih Bapa.”
*** to be continued**

1 comment:

Anita Bong said...

Love it :D ditunggu lanjutannya :) Gbu~

Partners